EVALUASI BRANDING JOGJA NEVER ENDING ASIA SEBAGAI STRATEGI MEMASARKAN DAERAH DI ERA OTONOMI
DOI:
https://doi.org/10.53640/mahakam.v5i1.270Abstract
Persaingan keras di era globalisasi saat ini mendesak setiap negara harus mengembangkan inovasi dan kreativitas agar tidak tertinggal dengan negara lain. Yogyakarta misalnya, tidak lagi bersaing hanya dengan Bali, Bandung, atau Jakarta, tetapi juga sekaligus bersaing dengan Kuala Lumpur, Phuket, atau Singapura. Menyadari hal itu, Yogyakarta bangkit dengan membangun pemasaran wilayah (marketing place). Melalui brand image “Jogja Never Ending Asia” .
Secara teoritis, penelitian ini mendeskripsikan bahwa sudah selayaknya setiap wilayah mempunyai konsep yang kuat. Konsep ini menjadi “ruh” atau blueprint yang memperkokoh pembangunan atau pemasaran daerah. Konsep yang dimaksud dimulai dengan mengarahkannya pada pembentukan branding daerah. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data kuesioner, wawancara, observasi dan dokumentasi. Penentuan informan penelitian menggunakan metode purposive sampling, yaitu seseorang yang terlibat dalam proses lahirnya branding Jogja Never Ending Asia, seperti mantan pengurus IMA Chapter DIY, dan mantan Sekda Propinsi DIY, kemudian dilanjutkan dengan snowball sampling ke beberapa pihak yang dianggap memiliki informasi dan pengetahuan yang relevan tentang branding Jogja Never Ending Asia. Sedangkan responden dalam penelitian sebanyak 100 orang responden yang terdiri dari unsur pelaku usaha, masyarakat, mahasiswa, wisatawan nusantara, wisatawan mancanegara, dan dipilih sebagai sampel dengan metode simple random sampling (pengambilan sampel acak sederhana).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa krisis ekonomi Indonesia, otonomi daerah, dan globalisasi adalah faktor yang mendasari lahirnya brand. Alasan kalimat Jogja Never Ending Asia dipilih sebagai branding Propinsi DIY, adalah alasan kultural, komunitas pasar global, dan persaingan global. Branding ini tidak terimplementasi dengan baik karena sosialisasi yang tidak efektif, serta tidak adanya partisipasi dan koordinasi dalam proses lahirnya dan implementasi branding. Responden masih banyak yang belum mengetahui brand dan maknanya. Banyak pihak hanya menggunakan logonya saja tanpa disertai dengan pencantuman Never Ending Asia. Secara esensi, brand Jogja Never Ending Asia masih dianggap relevan karena dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah ditetapkan Visi Pembangunan Daerah yang akan dicapai pada Tahun 2025, yaitu menjadi terkemuka di Asia Tenggara dibidang Pendidikan, Budaya dan Tujuan Wisata.
Kata Kunci : Pemasaran Daerah, Branding, Partisipasi dan Koordinasi